parasetamol


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Di laporkan telah ada orang yang mengkonsumsi parasetamol bersamaan dengan minuman berkarbonasi lalu ditemukan tewas dengan mulut berbusa (Hermansaksono 2009). Penggunaan parasetamol saat ini sering keliru dengan minuman berkarbonasi, karena sebagian besar orang beranggapan bahwa minuman berkarbonsi sama dengan air, disebabkan karena kandungan minuman berkarbonasi yang terdiri dari 90% air dan sisanya adalah kombinasi dari berbagai bahan (Indrapura 2009).
Parasetamol adalah derivat asetanilida yang merupakan metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan sebagai analgetik, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran kerena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Parasetamol mempunyai khasiat analgetik dan antipiretik, tetapi tidak untuk anti radang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat antinyeri paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri) (Tan & Kirana 2002). Penggunaan parasetamol dengan minuman berkarbonasi dapat menyebabkan parasetamol tidak stabil, sehingga terdegradasi membentuk paminofenol Sartono 2002). Senyawa p-aminofenol merupakan senyawa toksik dan dapat menyebabkan methemoglobin. Methemoglobin ini terbentuk karena Fe2+ di dalam hemoglobin dioksidasi menjadi Fe3+. Proses oksidasi tersebut mengakibatkan tidak terjadinya lagi pengangkutan oksigen dalam darah (Ebel 1992).
Dugaan senyawa p-aminofenol hasil degradasi parasetamol dengan penambahan minuman berkarbonasi perlu dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1.      Apakah penambahan minuman berkarbonasi pada parasetamol dapat mempengaruhi pembentukan p-Aminofenol?
2.      Bagaimana hubungan antara konsentrasi parasetamol dengan kadar p-Aminofenol yang dihasilkan?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Mengetahui pengaruh minuman berkarbonasi yang ditambahkan pada parasetamol dalam pembentukan p- Aminofenol
2.      Mengetahui hubungan antara konsentrasi parasetamol dengan kadar p-Aminofenol yang dihasilkan

1.4  Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Parasetamol yang digunakan dalam penelitian ini adalah parasetamol murni (derajat farmasi)
2.      Larutan standart yang digunakan pada analisis menggunakan HPLC adalah p-aminofenol (pa)
3.      Eluen pada analisis menggunakan HPLC adalah methanol (pro HPLC) dan air

1.5  Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penggunaan parasetamol secara benar sebagai obat analgesik-antipiretik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan turunan senyawa sintetis dari p-aminofenol yang memberikan efek analgesia dan antipiretika. Senyawa ini mempunyai nama kimia N-asetil-paminofenol atau p-asetamidofenol atau 4’hidroksiasetanilid, bobot molekul 151,16 dengan rumus kimia C8H9NO2 dan mempunyai struktur molekul sebagai berikut :


Gambar 2.1 Struktur parasetamol

            Parasetamol adalah derivat-asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan sebagai analgetikum, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya adalah analgetik dan antipiretik, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh kofein dengan kira-kira 50% dan kodein.
 Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. Parasetamol yang dikonsumsi terus menerus dan sudah lewat masa kadaluarsanya dapat menyebabkan gejala kerusakan hati.
Dalam golongan obat analgetik, parasetamol atau nama lainnya asetaminofen memiliki khasiat sama seperti aspirin atau obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID) lainnya. Seperti aspirin, parasetamol berefek menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak tetapi sedikit aktivitasnya sebagai penghambat postaglandin perifer. Namun, tak seperti obat-obat NSAIDs, obat ini tidak memiliki aktivitas antiinflamasi (antiradang) dan tidak menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek kardiorenal yang tidak menguntungkan.
Karenanya cukup aman digunakan pada semua golongan usia. Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh belum sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam salah satu jurnal Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug, mengenai aksi pereda nyeri dari parasetamol ini. Ternyata di dalam tubuh efek analgetik dari parasetamol diperantarai oleh aktivitas tak langsung reseptor canabinoid CB1 (Ayuun, 2011).

2.2  p-Aminofenol
Senyawa p-aminofenol merupakan senyawa toksik dan dapat menyebabkan methemoglobin. Methemoglobin ini terbentuk karena Fe2+ di dalam hemoglobin dioksidasi menjadi Fe3+. Proses oksidasi tersebut mengakibatkan tidak terjadinya lagi pengangkutan oksigen dalam darah (Ebel 1992).

p-aminofenol diduga merupakan hasil degradasi parasetamol melalui reaksi hidrolisis parasetamol yang dikatalis asam (asam karbonat), reaksi diduga sebagai berikut :
           
Gambar 2.2 Reaksi parasetamol dalam air dengan katalis asam
2.3  Minuman Berkarbonasi
Soda pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan Inggris bernama Joseph Priestley pada tahun 1770-an, yaitu ketika ia berusaha mencampurkan air destilasi dengan gas karbondioksida (CO2). Soda mulai dikenal luas ketika ilmuwan Inggris lainnya, yaitu John Mervin Nooth menyempurnakan penemuan Joseph Priestley dan menjualnya sebagai obat. Pada tahun 1830, sebuah pabrik minuman berkarbonasi pertama kali berdiri di Amerika Serikat.
Air soda memiliki rumus kimia H2CO3. Untuk membuat air soda, komponen yang paling penting adalah air dan gas karbondioksida. Air soda memang dibuat dengan melarutkan gas karbondioksida (CO2) ke dalam air.
Air berkarbonasi merupakan kandungan terbesar di dalam carbonated soft drink. Air yang digunakan harus mempunyai kualitas tinggi, yaitu: jernih, tidak berbau, tidak berwarna, bebas dari organisme yang hidup dalam air, alkalinitasnya <50 ppm, total padatan terlarut <500 ppm, dan kandungan logam besi dan mangan <0.1 ppm. Sederet proses diperlukan untuk mendapatkan kualitas air yang diinginkan, antara lain: klorinasi, penambahan kapur, koagulasi, sedimentasi, filtrasi pasir, penyaringan dengan karbon aktif, dan demineralisasi dengan ion exchanger. Carbondioksida yang digunakan juga harus semurni mungkin dan tidak berbau. Air berkarbonasi dibuat dengan cara melewatkan es kering (dry ice) ke dalam air es.

2.4  Methemoglobin
Methemoglobin adalah suatu hasil oksidasi hemoglobin yang tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengangkut oksigen. Ini dapat dibuktikan dengan mudah secara spektrofotometri. Banyak zat, misalnya, amina aromatik atau senyawa nitro aromatik yang dalam organisme direduksi menjadi amina aromatik, sulfonamida, asetanilid, asam aminosalisilat, nitrofurantoin, primakuina, kinina atau nitrit, menyebabkan pembentukan methemoglobin dari hemoglobin. Jika methemoglobin hanya dibentuk dalam jumlah kecil, maka methemoglobin dapat direduksi kembali menjadi hemoglobin di dalam eritrosit. Jika sebaliknya pembentukan methemoglobin naik sampai jumlah tertentu, proses regenerasi pada eritrosit tidak cukup dan kemampuan darah untuk transport oksigen berkurang dengan nyata. (Ariens, 1986)

2.5  Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasanya juga disebut dengan HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography) merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain: farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri-industri makanan (Rohman, 2007).
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut(Rohman, 2007).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat
            Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, gelas
piala, labu takar berbagai ukuran, pipet volume berbagai ukuran, spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1201, KCKT Shimadzu model LC-10AS dilengkapi dengan detektor UV-Vis, SPD-10A, kolom C18 RP dan pemroses data class C-R10, alat penyuntik dengan ujung tumpul.

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah parasetamol (derajat farmasi), p-aminofenol (pa.), minuman berkarbonasi, methanol (pro HPLC), dan aquabidestilata.

3.3 Cara Kerja
3.3.1 Penentuan panjang gelombang maksimum
Membuat larutan standar p-aminofenol 20 ppm, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 220 - 250 nm dan dicari panjang gelombang yang absorbansinya terbesar.

3.3.2 Penentuan kondisi analisis
Campuran larutan baku pembanding p-aminofenol dan parasetamol 10 ppm disuntikkan 20,0 μl ke alat KCKT kemudian dielusi dengan fase gerak metanol-air yang komposisinya diubah-ubah sebagai berikut : (30:70), (40:60), (50:50) dan (60:40) dengan laju alir 1,0 ml/menit, dan kita pilih harga HETP terkecil dan N terbesar.

3.3.3 Pembuatan kurva kalibrasi
Pembuatan kurva kalibrasi p-aminofenol menggunakan panjang gelombang maksimum (232 nm) dan fase garak metanol-air (50:50) dengan laju air 1,0 ml/menit. Larutan baku p-aminofenol dibuat dalam enam konsentrasi, yaitu
1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm dan 10 ppm. Masing-masing larutan tersebut disuntikkan sebanyak 20,0 μl ke alat KCKT kemudian kita buat persamaan regresi linier berdasarkan luas puncak dan konsentrasi baku pembanding.

3.3.4 Pengujian sampel
Pengujian sampel dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Sejumlah tertentu sampel parasetamol dilarutkan dengan minuman berkarbonasi, setelah 2 jam dilakukan uji kualitatif dan kuantitatif. Uji kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi p-aminofenol baku pembanding dengan sampel. Uji kuantitatif dilakukan dengan membandingkan luas puncak area terhadap standar (memasukan ke persamaan regresi linier antara konsentrasi versus luas puncak area dari larutan standar).

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Panjang gelombang maksimum p-aminofenol
Panjang gelombang maxsimum (λ max) p-aminofenol = 232 nm. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu (Rohman, 2007):
  • Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar
  • Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hokum Lambert-Beer akan terpenuhi
  • Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang maksimal

4.2 Kondisi analisis p-aminofenol secara kromatografi cair kinerja tinggi
Penentuan kondisi analis optimum p-aminofenol dengan fase gerak yaitu metanol-air dengan perbandingan (50:50), dan (60:40) yang masing-masing menggunakan kecepatan alir yang sama yaitu 1,0 ml/menit. Hasil kondisi analisis p-aminofenol yang paling optimum adalah fase gerak methanol : air dengan perbandingan 50 : 50 , karena pada saat penggunaan fase gerak tersebut diperoleh harga N yang besar dan HETP yang kecil yang merupakan ukuran efisiensi kolom, serta diperoleh resolusi atau pemisahan yang baik.
N merupakan jumlah lempeng yang didasarkan pada distilasi kolom. Berdasarkan kurva Gaussian, nilai N didefinisikan sebagai:
N = (tR : 𝞂t)2
Yang mana tR merupakan retensi solut dan  𝞂t merupakan standar deviasi lebar puncak. Semakin besar nilai N maka pemisahan akan semakin baik. Hal ini dikarenakan semakin banyak lempeng maka interaksi antara solut dan lempeng semakin besar. Sedangkan tinggi setara pelat teori atau HETP merupakan panjang kolom kromatografi (dalam mm) yang diperlukan sampai terjadinya satu kali keseimbangan molekul solut dalam fase gerak dan fase diam. Nilai N yang besar dan HETP yang kecil akan mampu memisahkan komponen-komponen dalam suatu campuran yang lebih baik yang berarti bahwa efisiensi kolom adalah besar.

4.3 Kurva kalibrasi
Pembuatan kurva kalibrasi dilakukan dengan konsentrasi larutan standar p-aminofenol 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan 10 ppm. Berdasarkan hasil kromatogram standar p-aminofenol diperoleh luas area untuk masing-masing konsentrasi kemudian dibuat persamaan regresi linier dan digunakan untuk menghitung kadar p-aminofenol dari sampel. Persamaan kurva kalibrasi dari percobaan ini adalah : y = -27250,4274+ 480746,8247x. LOD = 0,2689 ppm dan LOQ = 0,8693 ppm, serta uji perolehan kembali (98,99 ± 0,34) %.

4.4 Analisis p-aminofenol
Analisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) secara kualitatif berdasarkan pada waktu retensi (tRf) dari p-aminofenol sebagai baku pembanding dengan sampel. Hasil analisis menunjukkan bahwa waktu retensi p-aminofenol standar adalah 3,028 sedangkan waktu retensi senyawa hasil dari degradasi parasetamol dengan minuman berkarbonasi (tRf) adalah 3,100 karena waktu retensi hampir sama dengan waktu retensi standar p-aminofenol maka dapat disimpulkan bahwa hasil degradasi parasetamol dengan minuman berkarbonasi menghasilkan p-aminofenol. Analisis kuantitatif p-aminofenol hasil degradasi parasetamol dengan penambahan minuman berkarbonasi menggunakan Fase gerak metanol : air (50:50) dengan kecepatan alir 1,0 ml/menit. Uji kuantitatif dilakukan dengan tiga variasi berat penimbangan parasetamol. Pertama, parasetamol 100,0 mg dilarutkan dengan minuman berkarbonasi sebanyak 250,0 ml. Kedua, parasetamol 250,0 mg dilarutkan dengan minuman berkarbonasi sebanyak 250,0 ml. Ketiga, parasetamol 500,0 mg dilarutkan dengan minuman berkarbonasi sebanyak 250,0 ml. Masing-masing konsentrasi dilakukan penimbangan berulang dan diinjeksikan sebanyak 20 μl ke alat KCKT.
Tabel 1. Kadar p-aminofenol dapat dilihat pada tabel berikut :
Pada analisis ini digunakan parasetamol murni tidak dalam bentuk sediaan

yang dikhawatirkan bahan tambahan yang terdapat dalam sediaan dapat mengganggu analisis dan akan mempengaruhi proses pemisahan p-aminofenol yang merupakan hasil degradasi parasetamol dengan penambahan minuman berkarbonasi. Minuman berkarbonasi sebagai katalisator yang bersifat asam karena mengandung asam H2CO3 yang merupakan reaksi gas CO2 dan air (H2O), minuman berkarbonasi mempunyai pH sekitar 3. Ketika parasetamol bereaksi dengan air dalam suasana asam maka akan terjadi reaksi hidrolisis parasetamol menjadi p-aminofenol, reaksi diduga sebagai berikut :

Gambar 4.1 Reaksi hidrolisis parasetamol yang dikatalis asam

Senyawa p-aminofenol ditentukan kadarnya dengan menggunakan metode KCKT fase terbalik, fase gerak yang digunakan lebih polar dari fase diamnya. Dipilih fase gerak metanol : air dengan perbandingan 50 :50 dan fase diamnya C 18 RP. Hal ini disebabkan p-aminofenol dan parasetamol relatif polar sehingga waktu retensinnya relatif kecil / cepat keluar dari kolom dan terjadi pemisahan yang baik antara p-aminofenol dan parasetamol, Alasan penggunaan metode KCKT karena KCKT adalah teknik pemisahan dari komponen-komponen campuran antara fase diam dan fase gerak yang teknik analisisnya sederhana, cepat, mudah dan kepekaannya tinggi, selain itu KCKT dapat juga digunakan untuk menetapkan kadar dari zat berkhasiat yang jumlahnya relatif kecil.
Parasetamol dengan konsentrasi 400 ppm, masing-masing konsentrasi langsung disuntikkan ke alat KCKT. Parasetamol dengan konsentrasi 1000 ppm dan 2000 ppm terlebih dahulu diencerkan dengan aqubidestilata sebelum disuntikkan ke alat KCKT, karena dalam konsentrasi yang terlalu besar jika langsung disuntikkan ke alat KCKT akan terjadi penyumbatan kolom. Sampel sebelum disuntikkan ke alat KCKT, didiamkan selama 3 jam dari waktu penambahan parasetamol dengan minuman berkarbonasi agar parasetamol bereaksi sempurna dengan minuman berkarbonasi sehingga parasetamol terdegradasi membentuk p-aminofenol. Uji kuantitatif digunakan metode baku luar yaitu dengan membuat larutan baku para aminofenol dengan konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm dan 10 ppm kemudian disuntikkan sebanyak 20,0 μl dan diukur luas puncaknya, kemudian membuat kurva kalibrasi antara luas puncak terhadap konsentrasi larutan baku. Perhitungan luas puncak dengan konsentrasi dirumuskan sebagai persamaan garis lurus y = a+bx, sehingga diperoleh persamaan garis y = -27250,4274+ 480746,8247x dengan r = 0,9997. Angka koefisien korelasi (r) dapat menunjukkan pula bahwa hubungan kadar dan luas puncak dalam setiap satuan kadar terletak dalam satu garis lurus dan kadar sampel dibuat dalam satuan persen (%). Perhitungan kadar p-aminofenol diketahui dengan cara memasukkan luas puncak sampel ke dalam persamaan garis tersebut sehingga diperoleh konsentrasi sampel sebagai kadar paminofenol. Hubungan konsentrasi parasetamol dengan kadar p-aminofenol dalam sampel dapat dilihat pada gambar 1.






Gambar 4.2 Grafik hubungan konsentrasi parasetamol dengan kadar p-aminofenol dalam sampel
Kadar p-aminofenol yang diperoleh pada penelitian ini semakin naik seiring dengan semakin besarnya berat penimbangan parasetamol yang dapat dilihat secara kuantitatif yaitu pada 100 mg parasetamol dengan penambahan 250 ml minuman berkarbonasi (konsentrasi 400 ppm) diperoleh kadar p-aminofenol (0,0929 ± 0,0006) % b/b; 250 mg parasetamol dengan penambahan 250 ml minuman berkarbonasi (konsentrasi 1000 ppm) diperoleh kadar p-aminofenol (0,2657 ± 0,3538) % b/b; 500 mg parasetamol dengan penambahan 250 ml minuman berkarbonasi (konsentrasi 2000 ppm) diperoleh kadar p-aminofenol (0,5892 ± 0,0006) % b/b (Tabel 1).
Data - data tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak parasetamol yang ditambah dengan minuman berkarbonasi dengan volume yang sama maka kadar p-aminofenol yang terbentuk pada sampel semakin besar, yang grafiknya dapat dilihat pada gambar 1. Terjadinya peningkatan kadar p-aminofenol merupakan akibat semakin banyaknya parasetamol yang digunakan, ini disebabkan karena parasetamol merupakan senyawa yang tidak stabil dengan adanya katalis asam maupun basa. Minuman berkarbonasi merupakan minuman yang bersifat asam dengan pH 3 sampai 4, sehingga semakin banyak parasetamol yang bereaksi dengan minuman berkarbonasi maka semakin banyak pula parasetamol yang terdegradasi menghasilkan p-aminofenol. Banyaknya parasetamol yang bereaksi dengan minuman berkarbonasi akan berpengaruh terhadap kadar p-aminofenol yang merupakan hasil degradasinya. Uji penetapan kadar secara statistik melalui uji SNK memberikan nilai antara sampel A dan B adalah 0,3240 ≥ 0,0346 yang berarti ada beda, sampel B dan C adalah 0,4973 ≥ 0,0434 yang berarti ada beda, sedangkan sampel A dan C adalah 0,1733 ≥ 0,0346 yang berarti ada beda. Ketiga data tersebut memberikan arti bahwa tiap – tiap berat penimbangan sampel berbeda secara nyata.
Menurut Usman, 2011, pembentukan methemoglobin dalam darah terjadi ketika adanya efek metabolisme acetanilide sehingga menimbulkan  peningkatan kadar methemoglobin setelah pemberian acetanilide sejalan dengan kadar anilline. Phenylhydroxylamine terlibat dalam pembentukkan methemoglobin. Secara alami, methemoglobin dibentuk secara konstan dalam eritrosit normal. Pada proses pengikatan oksigen, oxihemoglobin diubah menjadi komplek superoxoferriheme (Fe3+O•−2 ). Efek metabolisme asetanillida dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini:



Gambar 4.3 Mekanisme efek metabolism asetanilida
            Berdasarkan pada mekanisme di atas maka dapat kita ketahui bahwasannya asetanilida melalui sebagian besar rute reaksi akan menghasilkan parasetamol (asetaminofen), reaksi parasetamol selanjutnya menghasilkan dua produk berbeda yaitu, 4-hidroksiasetanilidasulfat dan 4-hidroksiasetanilidaglukuronat.  Sedangkan asetanilida sejalan dengan kadar aniline (< 1 %) dapat membentuk fenilhidroksilamin yang kemudian dapat dirubah menjadi senyawa nitrobenzena.
Reduksi nitrat menjadi nitrit oleh mikroorganisme dan penyerapan nitrit ke dalam darah menyebabkan pembentukan methemoglobin. Pengikat nitrit pada hemoglobin mengakibatkan pembentukan yang mengikat erat oksigen secara tidak reversibel. Akibatnya ialah bahwa eritrosit tidak lagi mampu mengangkut oksigen dan menimbulkan sianosis. Pada anak-anak yang lebih tua dan pada orang dewasa, bakteri yang merespirasi nitrat oleh getah lambung yang asam kuat dimatikan dan ion nitrat diserap, sebelum sampai ke duodenum dengan rentang pH yang memungkinkan ion-ion ini tereduksi (Schlegel, 1994).
Walaupun jaringan melepaskan cadangan oksigen ke bentuk ferro, beberapa oksigen terlepas/terputus kembali dari hemoglobin sebagai superoksida (O•−2), hal ini akan membuat hemoglobin mengalami oksidasi membentuk ferri metemoglobin. Adapun reaksi hemoglobin menjadi metemoglobin dapat dilihat pada gambar berikut ini:





Gambar 4.4 Reaksi reduksi pada hemoglobin menjadi metemoglobin

            Berdasarkan pada uraian tentang pembentukan metemoglobin darah maka dapat diketahui bahwa senyawa yang paling berperan dalam pembentukan metemoglobin adalah senyawa nitro aromatis, amina aromatis yang direduksi menjadi amina aromatik, sulfonamida, asetanilid, asam aminosalisilat, nitrofurantoin, primakuina, kinina atau nitrit, menyebabkan pembentukan methemoglobin dari hemoglobin. Parasetamol dan p-aminofenol tergolong dalam senyawa amina aromatis sehingga sangat dimungkinkan apabila degradasi parasetamol dalam suasana asam menjadi p-aminofenol ikut berperan dalam pembentukan metemoglobin.
Jika methemoglobin hanya dibentuk dalam jumlah kecil, maka methemoglobin dapat direduksi kembali menjadi hemoglobin di dalam eritrosit. Jika sebaliknya pembentukan methemoglobin naik sampai jumlah tertentu, proses regenerasi pada eritrosit tidak cukup dan kemampuan darah untuk transport oksigen berkurang dengan nyata.
Gambaran klinik yang terlihat akibat methemoglobin antara lain sakit kepala, kelelahan, pingsan, cyanosis, disarythmia dan kegagalan peredaran darah dan efek yang progresif dari sistem saraf pusat bahkan kematian (Depkes RI Ditjen PPM & PL, 2001).
Aturan pemakaian parasetamol adalah ikuti petunjuk pada kemasan atau label resep dengan hati-hati, dan meminta dokter atau apoteker untuk menjelaskan bagian yang tidak dimengerti. Ambil parasetamol persis seperti yang diarahkan. Jangan mengambil lebih atau kurang dari itu atau mengambil lebih sering daripada diarahkan pada label kemasan atau diresepkan oleh dokter. Mengambil lebih dari jumlah yang disarankan dapat menyebabkan kerusakan hati.
Jika memberikan parasetamol untuk anak, bacalah label paket dengan hati-hati untuk memastikan bahwa produk yang tepat untuk usia anak. Jangan memberi anak parasetamol produk yang dibuat untuk orang dewasa. Beberapa produk untuk orang dewasa dan anak yang lebih tua dapat mengandung parasetamol terlalu banyak untuk anak muda. Periksa label paket untuk mengetahui berapa banyak obat-obatan yang dibutuhkan oleh anak-anak. Jika Anda tahu berapa banyak anak Anda berat, memberikan dosis yang sesuai dengan berat badan yang pada tabel. Jika Anda tidak tahu berat badan anak Anda, memberikan dosis yang sesuai dengan usia anak Anda. Tanyakan kepada dokter anak Anda jika Anda tidak tahu berapa banyak obat untuk memberikan anak Anda. Berhenti mengambil parasetamol dan hubungi dokter jika gejala bertambah buruk, terdapat  gejala baru atau yang tak terduga, termasuk kemerahan atau bengkak, sakit yang berlangsung selama lebih dari 10 hari, atau demam semakin parah atau berlangsung lebih dari 3 hari.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penambahan minuman berkarbonasi pada parasetamol dapat menyababkan degradasi dan menghasilkan paraaminofenol dan semakin banyak penambahan minuman berkarbonasi semakin banyak paraaminofenol yang dihasilkan.

5.2 Saran
            Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh minuman berkarbonasi terhadap reaksi hidrolisis parasetamol menjadi p-aminofenol serta pengaruh konsentrasi p-aminofenol terhadap pembentukan metemoglobin perlu dilakukan analisa lebih lanjut menggunakan hewan uji.

DAFTAR PUSTAKA

Ayuun. 2011. Interaksi Parasetamol dengan Alkohol. (http://www.ayuun.wordpress.com, diakses pada 15 Juni 2011)
Ariens, E.J., E. Mutschler, A.M. Simonis. 1986. Toksikologi Umum (Pengantar). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Departemen Kesehatan RI Ditjen PPM dan PL. 2001. Bahan-bahan Berbahaya dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Manusia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Ebel S. 1992. Obat Sintetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Hermansaksono. 2009. Keracunan Parasetamol. www.wartamedika.com. (3 juni
2009)
Indrapura S. 2009. Minuman Berkarbonasi.( http://wiek.wordpress.com, diakses pada 3 juni 2009)
Rohman, A.G dan Gandjar, I.G. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sartono. 2002. Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika
Siswandono, Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Edisi II. Surabaya: Airlangga
University Press
Suharto, Tito. 2008. Minuman Berkarbonasi.(http://www. Tribute to All from Me through MyBlog.wordpress.com, diakses pada 20 Juni 2011)
Tan, Kirana. 2002. Obat-obat Penting. Edisi V. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

markovnikov dan anti markovnikov

hadist maudhu'